Senin, 27 Desember 2010

Prospek Industri Pangan 2011



Pada akhir tahun 2009 lalu penulis mendapat kesempatan berdiskusi dengan Adhi S Lukman yang kini menjadi ketua umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI). Salah satuh topik yang dibahas pada saat itu adalah kekuatan sektor industri pangan nasional di tengah krisis ekonomi yang melanda berbagai negara pada 2009.
Menurut Adhi pada saat itu meskipun nilai ekspor produk pangan menurun, namun pelaku di sektor ini dengan cerdas, langsung melirik dan fokus pada pasar dalam negeri. Selain itu para pemain baru pun bermunculannya di industri pangan baik dengan skala besar maupun kecil, turut menambah kekuatan di sektor ini. Hasilnya, pertumbuhan industri pangan pada 2009 diperkirakan mengalami peningkatan 7 - 8 %. Walau masih lebih rendah dari pertumbuhan 2008 yang mencapai 14,5 %.
Menurutnya total output industri pangan pada 2008 lalu mencapai lebih dari 505 triliun rupiah (data BPS), berarti pada 2009 nilai bisnisnya diperkirakan akan mencapai 550 triliun rupiah. ”Semua produk meningkat dan yang lebih kuat adalah produk pangan pokok,” katanya.
Peningkatan nilai bisnis ini harus diakui karena industri pangan nasional lebih fokus untuk meraih pasar dalam negeri. Selain itu petumbuhan penduduk selama tahun tersebut juga berperan penting. ”Semakin banyak penduduk, maka produk pangan juga akan semakin dibutuhkan” ungkap Adhi.


Adhi memprediksi pada 2010 ini perekonomiam nasional terus membaik. Dan prediksi ini benar-benar terbukti. Namun ada satu isu yang hingga kini masih terus menjadi polemik dan permasalahan yang tidak bisa dianggap enteng untuk bisnis pangan, yaitu perdagangan bebas ASEAN-Cina. Menurut Adhi, isu tersebut pasti terjadi dan memang telah terjadi sekarang ini, ini merupakan salah satu dampak dari penandatanganan perjanjian tersebut. .
Walhasil pelaku bisnis pangan nasional sejak itu hingga tahun 2011 pun harus siap bertarung tidak hanya sesama mereka tapi juga dengan pemain yang berasal dari negara lain. Cina dan India adalah negara yang siap mengawali pertarungan untuk memperebutkan pasar, tidak hanya di Indonesia, tapi juga pasar di negara-negara yang tergabung dalam ASEAN.


Menurut Adhi, meskipun berebut pasar lokal bersama kedua negara yang sedang naik daun di sektor industri pangannya ini. Namun, di sisi lain perdagangan bebas juga menjadi peluang besar untuk merebutkan pasar di luar negeri, apalagi Cina dan India yang memiliki penduduk lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. ”Jadi pelaksanaan Free Trade Area (FTA), bukan suatu persoalan bagi industri pangan nasional,” katanya.
Hanya saja, FTA tidak cukup bagi kita untuk bersaing. Pemerintah melalui pendekatan B to B harus mengkondisikan agar koridor standar produk pangan bisa disamakan dengan negara tujuan. Mulai dari penyamaan standar produk, pengambilan sampel, sampai dengan pengakuan laboratorium pemeriksa. Dengan demikian FTA tidak terhambat oleh adanya hambatan non tarif (Technical Barrier to Trade).
Selain itu, juga ada beberapa persoalan yang harus diperbaiki dengan cepat, supaya industri nasional bisa bertarung sehat dengan Cina/India. Persoalan tersebut antara lain, melibatkan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah seperti kebijakan fiskal, infrastruktur, pungutan liar, dan sebagainya, harus berpihak kepada pertumbuhan industri Jadi jika memang harus bertarung secara langsung di kelas produk yang sama dengan kondisi iklim kebijakan yang masih sama, maka kekalahan sudah terlihat dengan jelas. “Kebijakan pemerintah negara tetangga mendukung secara nyata sektor, ini, menyebabkan harga yang diberikan akan lebih murah dibandingkan dengan produk yang kita miliki,” ungkap Adhi.
Di luar persoalan yang masih saja dihadapi oleh industri pangan ini, Adhi memberikan masukan yang sangat bagus supaya bisa memenangkan pertarungan ini. Kreatif dalam menghasilkan produk baru dan mengembangkan produk yang ada adalah kuncinya. “Semakin cepat kita menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh pasar, maka semakin cepat pula kita memenangkan pertarungan ini,” kata Direktur PT Niramas Utama yang menghasilkan aneka produk eksotis seperti nata de coco, aloe vera, dan jelly ini.
Industri pangan nasional seharusnya mampu membuat produk-produk eksotis khas Indonesia. “Dengan demikian, pertarungan produk sejenis secara langsung akan terhindar. Bahkan dengan kelebihan yang ada, kita akan membuka pasar baru untuk produk tersebut, baik pasar di dalam maupun luar negeri,” ujarnya. Kita harus bisa ”Feed the World” dengan potensi Indonesia yang luar biasa.

Tidak ada komentar: