Senin, 03 Januari 2011

Drama Harga Pangan Bakal Naik Terus



Masyarakat Indonesia mendapatkan kado akhir dan awal tahun yang tidak menggembirakan. Yaitu kenaikan berbagai harga produk pangan. Celakanya berbagai pengamat memperkirakan kenaikan harga pangan belum akan terhenti. Bahkan, pada 2011 nanti diperkirakan harga pangan dunia masih berpotensi naik.
Menurut data yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada akhir tahun 2010 setidaknya ada sepuluh produk pangan yang mengalami kenaikan harganya. Dari seluruh produk tersebut, cabai adalah yang mengalami kenaikan paling tertinggi. Lihat saja jika dibandingkan dengan harga cabai diawal tahun dan akhir tahun 2010 kenaikan harga cabai sudah melonjak sampai 125%.
Berikut beberapa daftar harga rata-rata bahan kebutuhan pokok pada Januari 2010 dibandingkan dengan harga rata-rata Desember 2010
1.Beras medium pada awal tahun harganya Rp 6.324 menjadi Rp 7.204 atau naik 14%
2.Gula pasir turun dari Rp 11.302 menjadi Rp 11.177 atau turun 1,1%
3.Minyak goreng curah pada awal tahun harganya Rp 9.540 menjadi Rp 11.393 atau naik 19,4%
4.Daging sapi naik dari Rp 65.420 menjadi Rp 67.461 atau naik 3,1%
5.Daging ayam broiler pada awal tahun Rp 22.013 menjadi Rp 25.298 atau naik 14,9%
6.Teluar ayam ras pada awal tahun Rp 14.814 harganya melonjak menjadi Rp 16.467 atau naik 11,1%
7.Tepung terigu turun dari harga awal tahun Rp 7.664 menjadi Rp 7.601 atau turun 0,8%
8.Cabe merah keriting di awal tahun harganya Rp 19.564 menjadi Rp 44.312 atau naik 126,5%
9.Cabe merah biasa dari Rp 18.316 menjadi Rp 41.167 atau naik 124,6%
10.Bawang merah dari Rp 12.871 menjadi Rp 22.831 atau naik 77,4%
Dampak kenaikan harga tersebut pastinya memberikan dampak yang lebih jauh lagi. Seperti kenaikan berbagai turunannya seperti makanan olahan dan sejenisnya. Jika melihat kondisi seperti ini, kayanya situasi ketahanan pangan nasional 2011 tidak aman nih.
Sebenarnya apa yang terjadi ? Menurut Wakil Pertanian Bayu Krisnamurthi salah satu penyebab dari seluruh kondisi ini adalah dipengaruhi oleh faktor iklim yang terjadi diberbagai negara produsen produk pangan. Dan faktor iklim ini tidak lagi hanya melihat kondisi iklim basah atau kering di suatu negara. Namun, harus lebih spesifik dengan melihat iklim ekstrem itu terjadi di mana dan komoditas apa yang terkena dampaknya.
Celakanya situasi pangan yang semakin rawan ini dikhawatirkan pada 2011 membuat negara-negara di dunia semakin protektif terhadap pangan yang mereka produksi. Padahal sekarang ini permintaan terhadap pangan terus meningkat. Ini akan membuat harga melonjak. Belum lagi, ulah para pialang yang masuk ke pasar komoditas.
Buat Kebijakan Khusus
Jika situasi tak menentu ini terus dirasakan, tentu saja dampaknya langsung terasa oleh masyarakat. Masyarakat akan dibuat pusing karena musti mengeluarkan uang lebih demi mendapatkan produk primer mereka.


Lalu apa yang dilakukan pemerintah ? Seperti biasa pemerintah dengan mudahnya menjelaskan akan mengeluarkan kebijakan khusus untuk menanganinya. Dan biasanya fokus pada dua hal pokok. Yang pertama misalnya pengembangan dan pemanfaatan teknologi dan dukungan saran lainnya yang mampu beradaptasi dengan kondisi iklim yang ada. Hal pertama ini diharapkan mampu memberikan dampak positif khususnya bisa meningkatkan produksi pangan dalam negeri.
Kedua, perdagangan Ini diwujudkan antara lain dengan mengeluarkan kebijakan seperti peraturan pemerintah ataupun intruksi presiden untuk merespons secara cepat, dan bijaksana, situasi pasar internasional.
Menurut penulis kebijakan khusus sepertinya bukan hal yang baru di dunia kebijakan pemerintah Indonesia untuk sektor pertanian. Karena dalam renstranya Kementerian Pertanian hingga Bappenas pun ini sudah tertulis.


Permasalahannya kok hingga kini belum ada perubahan yang signifikan ya? Lihat saja untuk swasembada beras saja hingga kini tak kunjung jadi. Bahkan pada 2011 ini pemerintah sudah terlanjur sepakat untuk impor beras dari thailand dan vietnam. Meskipun katanya hanya untuk cadangan stok pangan semata.
Menurut Fransiscus Wilerang praktisi pangan dalam bukunya yang berjudul Revitalisasi Republik menyarankan, guna menghadapi segala kemungkinan, semua pihak hendaknya serius untuk mengembangkan dan menggalakan ekonomi nonberas. Ini dilakukan dengan mengubah selera makan masyarakat, dari beras ke sumber kalori nonberas, seperti tepung-tepungan yang terbuat dari umbi-umbian. ”Selama ini sumber konflik kita beras, agar konflik tidak terus terjadi, kurangi konsumsi beras, alihkan ke sumber kalori lain,” kata dia.
Sebenarnya pemerintah juga sudah lama mencanangkan kebijakan non beras ini. Mulai dari penelitian dan pengembangan kementerian pertanian yang terus berinovasi untuk menghasilkan bibit unggul dan teknologi yang mendukungnya. Dan hasilnya pun terbukti berhasil dan banyak produk yang bisa digunakan untuk mendukung program ekonomi nonberas ini.
Cuma permasalahannya adalah kok produk ini seakan bisa berguna atau tidak bisa dimanfaatkan oleh para petani maupun industri pangan.
Ada dua kuncinya, yang pertama adalah selain dukungan penuh dari pemerintah pusat, dukungan dari pemerintah daerah pun tak terelakkan. Karena kini merekalah yang mempunyai pengaruh langsung di daerah. Dan sepertinya pemerintah daerah melihat sebelah mata sektor ini. Mereka lebih suka daerahnya bermunculan mall-mall dan industri-industri dibandingkan sektor penghasil bahan pangan ini.
Kedua adalah industri pangan pun tidak memiliki jembatan yang menghubungi ke pintu kantor-kantor penelitian dan pengembangan pertanian baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun universitas-universitas. Kalau pun sudah terhubung ada saja celetukan yang keluar seperti “ produknya ga menarik buat industri,”.
Kondisi kenaikan bahan pangan yang terjadi sejak akhir tahun hingga sekarang ini permasalahan kecil yang timbul seperti puncak gunung es. Permasalahan ini setiap tahun akan dan pasti terjadi. Dan solusi di atas kertas pun selalu dikeluarkan dan seakan mudah dilakukan. Namun kenyataannya kok seperti ini terus.
So solusi harus seperti apa? Masa harus ditanya ke rumput yang bergoyang? Padahal kan rumput yang bergoyang sudah sedikit yang hidup di negeri ini.

Tidak ada komentar: